Halaman
Terakhir
By: Reny Yuliana S
By: Reny Yuliana S
Perlahan
seseorang terlihat semakin jelas melangkah dengan ringan ke arahku. Ia muncul
dari cahaya yang tiba-tiba menyilaukan pandanganku. Ia berjalan dengan tegap
dan sorot mata yang tajam ke arahku. Ia terlihat rapi dengan pakaian resmi yang
melekat ditubuhnya. Aku seolah tak percaya kalau seseorang yang berdiri
dihadapanku sekarang adalah Graha.
Belum
habis rasa tak percayaku, tiba-tiba ia mengulurkan tangan kearahku sambil
mengembangkan senyum yang begitu lepas. Ia terlihat semakin menawan, rasanya
baru kali ini aku melihat ia begitu mempesona. Aku seperti terhipnotis,
menyongsong uluran tangannya tanpa mampu berucap sepatah kata pun. Ia lalu
mengajakku kesebuah tempat yang diterangi lilin-lilin dalam gelas-gelas kaca.
Tempat itu terasa begitu asing bagiku, namun aku tak mampu bertanya padanya.
Jangankan untuk bertanya, menyebut namanya pun aku merasa tak mampu.
Tiba-tiba
ia menatap tajam ke bola mataku, lalu ia melingkarkan tangan kirinya ke
pinggangku dan tangan kanannya menggenggam erat tangan kiriku. Entah dari mana
sumbernya, tiba-tiba terdengar sayup-sayup alunan musik orkestra yang membuat
aku semakin larut dalam suasana indah malam itu. Ia mengajakku berdansa, kami
melakukan gerakan memutar berulang kali, lama kelamaan aku merasa seperti
melayang. Aku merasakan tubuhku begitu ringan tak berbobot, semakin lama aku
merasa seperti melayang semakin tinggi, tinggi dan tinggi. Namun, tiba-tiba
angin kencang menerpa tubuhku, seluruh lilin disekitarku padam. Mataku tak
mampu melihat apa-apa, namun tanganku masih dalam genggamannya.
Lama
kelamaan aku merasakan tangannya tak lagi melingkar di pinggangku, dan genggaman tangannya pun mulai mengendur dan
semakin lama aku semakin tidak merasakan kehadirannya. Ia seolah berubah mejadi
angin. Aku mulai dilanda ketakutan yang luar biasa, aku menyadari aku berada
ditempat yang asing dan mataku tak mampu menangkap cahaya sedikitpun, hanya
hitam kelam yang nampak dimana-mana. Aku berusaha untuk mengeluarkan suaraku, “Graha,
dimana kamu? Aku takut ada disini sendirian, jangan tinggalkan aku, kumohon.”
Namun
aku tidak mendapatkan jawaban. Ketika aku sedang dalam kebingungan dan ketakutan,
tiba-tiba mataku disilaukan dengan cahaya terang yang bersinar di langit dan
dengan tiba-tiba pula cahaya itu jatuh dan menghantam tubuhku sampai aku merasa
terpental jauh dan membentur sesuatu yang keras.
Aku mengaduh dan membuka mataku.
Bersamaan dengan pandanganku yang kembali jelas, aku merasakan nyeri yang
lumayan pada punggungku. Aku bangkit dengan cepat, ketika menyadari bahwa aku
telah tergeletak dilantai keramik kamarku yang terasa sangat dingin di pagi
itu. Berkali-kali aku mengerjapkan mataku untuk meyakinkan diri bahwa aku sudah
sadar seratus persen.
“ Ya Tuhan, ternyata mimpi…..”
ucapku seraya mengusap wajahku dan merapihkan rambutku yang berantakan dan
sebagian menutupi wajahku. Rasa kecewa dan sesal sempat aku rasakan, karena
keindahan malam dalam mimpi itu hanya berlangsung singkat. Namun aku tak dapat
berbuat apa-apa. Ternyata adikku Sesyl sudah bangun lebih dulu dan ia membuka
pintu kamarku dan melihatku tergeletak di lantai.
“Mbak,
ngapain lah sampe tiduran di lantai gitu? Pake ngigau segala lagi? Mimpi buruk
ya mbak? Makanya mbak baca do’a dulu sebelum tidur biar mimpi indah.” Cerocos
Sesyl, adikku yang usianya hanya terpaut 1 tahun lebih muda dariku. Aku masih
berusaha menenangkan diri dan mengumpulkan nyawaku yang rasanya masih terpisah-pisah.
Setelah aku merasa lebih tenang, aku membuka mulut dan berkata, “ Kenapa ia tiba-tiba
muncul dalam mimpiku?”
“
Siapa mbak?” Tanya adikku. “ Graha.” Jawabku singkat.
“
Oh, cowok masa lalu mbak itu to? Hayo, jangan-jangan mbak kangen lagi sama dia?”
Sesyl malah menggodaku, namun aku tetap merasa aneh dan cemas. Sehingga aku
tidak meladeni godaanya.
“
Tapi mimpi ini rasanya aneh Syl. Dia mengajakku berdansa sampai kami berdua
terbang ke angkasa. Namun, selama itu dia tidak mengucap sepatah katapun. Aku
takut, jangan-jangan…..”
“
Halah mbak, cuma bunga tidur aja kok diipikirin. Mendingan sekarang mbak sholat
aja biar tenang, udah adzan tuh.” Sahut Sesyl.
Aku beranjak dari lantai dan
bergegas mengambil air wudu, ternyata jam sudah menunjukkan pukul setengah lima
pagi. Seusai sholat, hatiku terasa lebih tenang, namun aku tidak memungkiri
kalau di otakku masih berkecamuk seribu pertanyaan tentang makna dari mimpi
itu. Aku merasa sudah tidak pernah memikirkannya, namun mengapa ia mendadak
datang dalam mimpiku dan mengajakku berdansa sampai kami melayang bersama. Air
wajahnya terlihat begitu lain, tidak seperti Graha yang aku kenal dulu.
***
Graha
datang lagi, ia masih mengenakan pakaian yang sama. Dan untuk kedua kalinya aku
dibuatnya terpana lagi dengan pesona yang terpancar darinya. Ia melangkah
ringan, kali ini ia benar-benar terlihat tidak menginjak tanah. Ia melayang
diudara semakin tinggi, tinggi dan tinggi. Namun, aku tetap dapat melihatnya
dengan jelas. Berulang kali tubuhnya menembus awan-awan disekitarnya. Aku
sangat terpana antara percaya dan tidak percaya. Namun tubuhku terasa sangat
sulit untuk kugerakkan. Tiba-tiba Graha melemparkan senyuman padaku, senyum
yang sama dengan senyum yang kulihat saat terakhir kali melihatnya.
Graha
menghampiriku sambil mengulurkan tangannya, “ Sambutlah uluran tanganku ini Masa,
aku akan mengajakmu berdansa di atas awan-awan itu.” Ajaknya seraya menunju ke
awan-awan putih yang terlihat bergelantungan di angkasa. “ Bagaiman mungkin
Graha, aku tak memiliki sayap utuk terbang?” jawabku.
“
Lihat aku Masa, apakah aku memiliki sayap? Aku tidak memilikinya, namun aku
tetap bisa terbang. Kau hanya perlu menggenggam erat tanganku dan kita akan
terbang bersama.”
“
Tidak Graha, aku takut pada ketinggian. Aku takut terjatuh.”
“
Jadi kau tidak mau ikut denganku? Kau tega membiarkanku pergi sendiri tanpa
seorangpun yang menemaniku? Aku akan sangat kesepian Masa, tidakkah kau mau
menemaniku?” Jawab Graha dengan nada memohon.
Sepertinya
pendirianku sudah mulai goyah. Matanya, sorot mata memohon itu membuat
ketakutanku sedikit demi sedikit mulai surut, akupun menerima uluran tangannya.
Sebuah senyum mengembang dari bibirnya. Saat aku merasakan tubuhku mulai tidak
lagi menginjak tanah, tiba-tiba sebuah cahaya yang menyilaukan mata memancar ke
arah kami. Aku pun merapatkan kelopak mataku. Ketika aku membuka mata aku tidak
lagi melihat Graha, yang kulihat hanyalah plafon berwarna putih. Ternyata aku
berada dikamarku. Hah, mimpi lagi!
***
Dua
kali berturut-turut Graha hadir dalam mimpiku. Mimpi yang amat aneh. Aku semakin merasa cemas dengan keadaaan
Graha sekarang, apa yang terjadi dengannya? Apakah dia baik-baik saja?
Terkadang bayangan-bayangan buruk melintas dalam fikiranku. Membuatku semakin
cemas, namun aku tak dapat berbuat apa-apa.
Kulihat
kalender yang tergantung di dinding
kamarku. Ternyata hari ini adalah hari Selasa, dua puluh satu Mei 2005. Hari
ini adalah hari ulang tahun Graha, ya aku ingat hari ini Graha genap berusia
tujuh belas tahun. Kebanyakan orang beranggapan bahwa usia tujuh belas tahun
adalah usia yang istimewa. Aku bergegas mengambil ponselku, segera aku mengetik
inisial “G” namun aku tidak menemukan nama yang ku cari. Seingatku, aku masih
menyimpan nomornya. Beberapa lama aku mengingat-ingat, nomor Graha aku simpan
dengan nama apa.
“Nugraha”,
ya aku ingat Nugraha adalah nama panjangnya. Segera aku mengetik inisial “N”
dan aku menemukan nama itu, ketika aku hendak menekan tombol panggilan pada keypad ponselku. Tiba-tiba kejadian enam
bulan yang lalu melintas dalam fikiranku. Mengendurkan niatku untuk menekan
tombol itu.
Sebuah
kesalahan yang kuperbuat menyisakan penyesalan yang mendalam bagiku. Aku
menghianati kesetiaan cintanya, Aku mendua dengan laki-laki lain, aku
mementingkan egoku tanpa memikirkan perasaanya. Saat ia mengetahui
penghianatanku, ia begitu terpukul. Sebenarnya aku juga merasa menyesal karena
setelah ku bandingkan antara keduanya, Graha tetap jauh lebih baik dari Pras,
namun apa daya nasi sudah menjadi bubur. Aku juga tetap menjaga gengsiku. Aku
tidak mungkin menjilat ludahku sendiri.
Satu
minggu setelah aku resmi memutuskan hubungan dengan Graha, ternyata Pras lari
ke pelukan wanita lain. Karma melandaku, kini aku menyesal. Sesal yang amat
dalam, namun percuma. Aku tak mampu memutar ulang waktu yang telah berlalu.
Hari-hari kulalui dengan perasaan hampa. Ditambah lagi dengan kepergian Graha
yang tiba-tiba tanpa memberitahuku sebelumnya. Ia pindah sekolah, dengan alasan
yang tidak jelas. Rumah orangtuanya memang berjarak sekitar tiga puluh
kilometer dari tempat kos lamanya.
Hariku
pun terasa semakin sepi, tidak ada lagi seseorang dulu selalu menemaniku duduk
di kursi taman sambil memberikan lelucon-lelucon yang membuatku dapat tertawa
lepas. Jujur aku sangat kehilangan Graha kala itu, namun aku tak mungkin
mengatakan hal itu padanya. Aku harus tetap menjaga gengsiku sampai detik ini.
Ku
urungkan niatku untuk menghubungi Graha. Balum sempat aku meletakkan ponselku,
tiba-tiba terdengar nada dering ponselku. Saat aku melihat ke layar ponsel
terlihat jelas nomor Graha yang tertera. Ternyata Graha menelponku, aku kaget
bukan main. Aku tak menyangka kalau akan secepat ini ia menghubungiku. Padahal
lamunan tentang dirinya belum sepenuhnuya buyar dari fikiranku.
Dengan
tangan gemetar aku menekan tombol penerima penggilan pada ponselku. Terdengar
dari seberang sana suara yang dulu sangat akrab ditelingaku, suara seseorang
yang pernah ku sakiti, Graha. “ Hallo, Masa?” suaranya terdengar begitu lembut.
“
Ya, Graha. Apa kabarmu? Graha, mengapa kau pergi begitu saja? Apa kau masih
marah padaku? Apa kau sangat membenciku?” aku langsung menghujaninya dengan
pertanyaan pertanyaan yang sudah lama ingin kutanyakan padanya.
“
Aku baik Masa, aku hanya tidak ingin mengganggu hubunganmu dengan Pras saja,
jadi lebih baik aku pergi. Aku tidak dapat marah padamu Masa, apalagi sampai
membencimu. Itu tidak mungkin, kau tahu aku kan?”
Jawabannya
membuat debit air di mataku naik, sampai akhirnya air mata itu tumpah. Rasa
bersalah dalam diriku semakin besar. Aku malu padanya. Sangat malu.
“
Aku malu padamu Graha, Aku adalah orang yang sangat jahat. Tak seharusnya kau
pernah bertemu denganku?”
“
Iya, kau memang jahat. Bahkan sampai detik ini pun kau tidak pernah mengakui
kesalahnmu? Tidakkah kau ingin meminta maaf padaku Masa? Sebelum nanti kau
menyesal.”
Ucapannya
begitu lembut namun menusuk tepat pada hatiku. Benar ucapannya, aku maish
terlalu egois sampai aku tidak pernah mengakui kesalahnku, mengakui
penyesalanku.
“ Masa, masihkah kau mendengarku?”
Suara
itu membuyarkan lamunanku, akupun menjawab dengan tergagap. “Emmhh ya Graha,
aku masih mendengarmu. Graha kalau aku meminta maaf sekarang, masihkah kau mau
memaafkanku?”
“
Hahaaa, tentu saja tidak semudah itu.” Tawanya begitu renyah, membuatku ingin
melihat wajahnya ketika ia sedang tertawa seperti itu. Begittu lama aku tidak
berjumpa dengannya.
“
Hey Masa,kau harus datang ke rumahku. Kau harus meminta maaf langsung
dihadapanku, baru aku akan memaafkanmu. Ibuku juga ingin bertemu denganmu.
Katanya ibu rindu padamu. Begitupun aku Masa.
Aku
tercengang mendengar kata-katanya, ia bilang ia merindukanku. Aku sangat
bahagia ternyata ia masih berharap, berarti harapanku tidak bertepuk sebelah
tangan.
“
Masa, mangapa kau diam saja? Datanglah kerumahku siang ini juga. Hanya butuh
waktu satu jam saja dari rumahmu. Bukan waktu yang terlalu berharga untuk
dibuang, kan? Dan apakah kau ingat kalau hari ini usiaku genap tujuh belas
tahun. Tidakkah kau ingin menemaniku menghabiskan waktu dihari istimewaku ini?”
Oh,
ya ulang tahun Graha. Aku benar-benar mendadak lupa sama sekali.
“
Baiklah Graha aku akan datang.” Jawabku
“
Aku akan menunggumu semampuku, kau harus cepat Masa. Karena aku memiliki
firasat yang sedikit aneh.” ucapannya membuatkku sedikit khawatir dan ingin segera
menemuinya.
“
Jangan berkata seperti itu, secepatnya aku akan datang. Ya sudah tutuplah
teleponmu. Aku harus bersiap-siap.” Tiba-tiba aku teringat kalau aku tidak tahu
alamat Graha yang baru. Untung saja Graha belum memutus teleponnya.
“Hey
Graha, aku lupa. Aku tidak tahu alamatmu yang baru?”
“
Hahahaaa.. Aku kira kau sudah tahu alamatku. Baiklah aku akan kirimkan alamatku
melalui pesan saja, agar kau tidak repot-repot mencatatnya.”
“
Baiklah.” Jawabku cepat.
***
Perajalanan
yang cukup menyenangkan, aku menaiki bus kota dan menelusuri sebuah gang
menaiki becak. Benar saja, perjalanan yang kutempuh hanya satu jam dari
rumahku. Setelah aku menelusuri gang sekitar seratus meter kedalam, aku
menemukan alamat yang diberikan Graha padaku, perumahan Mertua Indah bernomor
pagar 21. Dengan tembok bercat warna putih, warna favorit Graha.
Namun
nafasku seolah berhenti sejenak dan tiba-tiba lututku lemas saat aku melihat
gerombolan orang mengenakan pakaian hitam-hitam dan dipagar rumah Graha juga
terpasang bendera berwarna kuning yang berkibar pertanda kepiluan sedang
terjadi dirumah itu. Perlahan aku mencoba untuk melangkah, walaupun terasa
begitu berat. Aku berusaha tegar, aku melangkah menelusuri halaman rumah itu.
Ketika
aku sampai dipintu masuk, aku melihat jenazah seseorang terbujur kaku, ditutupi
dengan kain batik berwarna cokelat.
Seorang wanita yang menangis disamping jenazah itu mendongakkan
wajahnya, ketika melihatku orang itu langsung menghampiri dan memelukku. Wajah
yang sangat ku kenal, Tante Farida. Ia adalah ibu Graha.
“
Graha, nak Masa. Graha meninggalkan ibu secepat ini.” Ucapnya terbata-bata
ditengah tangisannya yang pecah dalam pelukanku.
Seperti
petir yang menggelegar di telingaku, Graha pergi untuk selamanya. Aku berusaha
meyakkinkan diriku bahwa tubuh yang membujur kaku itu adalah tubuh Graha.
Kekasih yang tersakiti olehku. Perlahan aku membimbing Tante Farida untuk duduk
kembali disamping jenazah itu. Dengan tangan gemetar, aku menyingkap kain yang
menutupi wajah pemilik tubuh itu. Wajah yang sangat lekat dalam ingatanku.
Wajah yang selalu ceria dan penuh kehangatan, Graha. Ya, itu wajah Graha!
Benar-benar Graha. Tapi entah mengapa aku tidak dapat menangis, tidak ada
setetes air matapun yang mengalir dari pelupuk mataku. “Tante, mengapa Graha bisa
begini?” tanyaku lemah.
“
Dia sakit nak Masa, dan mungkin ia sudah tidak mampu menahan rasa sakit itu.
Jadi ia memilih untuk menyerah pada rasa sakitnya.” Tangisan tante Farida
kembali pecah.
“
Sakit apa Tante? Dan sejak kapan?” tanyaku lagi.
“
Ia difonis gagal ginjal oleh dokter. Ia sakit sejak satu tanun yang lalu.
Makanya tante menyuruhnya untuk pindah rumah, agar tante lebih mudah
merawatnya.”
Graha
yang malang, aku tidak pernah tahu tentang hal itu, mungkin karena aku kurang
memperhatikan kesehatannya, maafkan aku Graha. Aku sungguh sangat menyesal.
Namun, aku tidak mampu menentang takdir tuhan.
“
Nak Masa, ini ada titipan dari Graha. Dia menitipkan ini pada tante setelah ia
selesai meneleponmu tadi pagi.”
Sebuah
buku agenda berwarna putih, dengan pita pembatas berwarna hitam. Warna
kesukaanku. Aku pun meminta ijin pada Tante Farida untuk kebelakang. Tante
Farida malah mengajakku memasukki sebuah kamar. Kamar yang rapi dengan tembok
bercat putih bersih, udara segarpun terasa berhembus melalui jendela kamar yang
terbuka itu.
“
Ini kamar Graha. Sebelum ia menyerah pada rasa sakitnya.Ia berpesan pada Tante
kalau kau datang, kau disuruh membaca buku itu di kamar ini.”
“
Baiklah Tante, terimakasih banyak.”
Tante
Farida pun meninggalkanku di kamar itu sendiri. Dengan hati-hati aku membuka
buku agenda itu. Dilembar pertama tertulis nama “ZASKIRAMASA”, nama panjangku
tertulis dengan huruf kapital di halaman depan buku itu. Lembar demi lembar
kubaca dengan seksama tulisan tangan Graha. Air mataku menitik sedikit demi
sedikit, semakin kebelakang ku buka halaman buku itu. Air mataku meleleh
semakin deras.
Ternyata
Graha mencurahkan segala perasaanya di dalam buku itu, ia mencatat semua memori
indah yang pernah kami lalui bersama. Setiap hari ia mencatat kejadian-kejadian
apa saja yang dilaluinya bersamaku. Sampai dihalaman-halaman belakang ia juga
mencurahkan perasaannya tentang rasa sakit akibat penyakit yang menyiksa
raganya, dan rasa sakit akibat penghianatanku yang menyiksa jiwannya. Rasa
bersalah itu langsung menghakimiku. Sesal yang tiada guna lah yang datang.
Di
lembar terakhir ada curahan hati yang ia tuliskan sebelum ia pergi,
Selasa,
21 Mei 2005
Aku mendengar suaranya,
aku berbicara dengannya. Aku tertawa karenanya. Ooohhh…. Tuhan aku sangat bahagia.
Terima kasih Kau masih mengijinkanku untuk mendengar suaranya walau hanya
melalui ponsel. Ia mengucapkan Selamat Ulang Tahun padaku. Dan ia pun berjanji
padaku, kalau ia bersedia datang untuk menemuiku disini. Ia akan datang satu
jam lagi. Aku ingin sekali memeluknya,,, Ya Tuhan, semoga kau masih
mengizinkanku untuk dapat memeluknya dan mencurahkan perasaan rinduku yang
telah kutahan selama ini. Aku mohon Tuhan kalau Kau masih mengizinkanku untuk
bertemu dengannya berikan aku umur satu hari lagi, agar aku dapat menghabiskan
detik-detik terakhirku dengannya. Namun, jika kau tidak mengizinkan, biarkan ia
bertemu dengan ragaku yang dingin…
“ZASKIRAMASA” nama yang
akan selalu ada dalam hatiku, meski ragaku sudah mati namun rasa cintaku padamu
takakan pernah mati, walau ragaku terkubur dalam tanah namun cintaku tetap menggantung
tinggi di atas awan.”
Dan
di halaman yang paling akhir ada sebuah pesan untukku. Ditulis dengan tinta
berwarna hitam dan tulisannya terlihat sangat rapi.
Untuk
Masa,
“Masa, kalau kau
mengucapkan kata maafmu didepan buku ini dan kau merasakan hembusan angin
lembut menerpa wajahmu, itu berarti aku mengentuh wajahmu dan aku telah
memaafkanmu. Namun jika kau tidak merasakan hembusan angin itu, berarti
malaikat sudah membawaku pergi dan aku akan menunggu maafmu di pintu surga
nanti.”
Air
mataku mengalir semakin deras sekali, aku merasa sudah kehabisan tenaga.
Lidahku terasa kelu,namun aku tetap berusaha mngucapkan kata itu, samapi
akhirnya,
“ Maafkan aku Graha.” Kata itu keluar dari
mulutku dengan ketulusan dan penyesalan yang mendalam.
Seketika
aku merasakan hembusan angin lembut menerpa wajahku. Graha telah memaafkanku, seperti janji yang ia tuliskan dalam lembar
terakhir itu.
Tiba-tiba
aku merasakan seperti terlempar ke sebuah sudut yang gelap. Teramat gelap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar