Senin, 17 Desember 2012

My 1st Short Story


Halaman Terakhir
By: Reny Yuliana S


Perlahan seseorang terlihat semakin jelas melangkah dengan ringan ke arahku. Ia muncul dari cahaya yang tiba-tiba menyilaukan pandanganku. Ia berjalan dengan tegap dan sorot mata yang tajam ke arahku. Ia terlihat rapi dengan pakaian resmi yang melekat ditubuhnya. Aku seolah tak percaya kalau seseorang yang berdiri dihadapanku sekarang adalah Graha.
Belum habis rasa tak percayaku, tiba-tiba ia mengulurkan tangan kearahku sambil mengembangkan senyum yang begitu lepas. Ia terlihat semakin menawan, rasanya baru kali ini aku melihat ia begitu mempesona. Aku seperti terhipnotis, menyongsong uluran tangannya tanpa mampu berucap sepatah kata pun. Ia lalu mengajakku kesebuah tempat yang diterangi lilin-lilin dalam gelas-gelas kaca. Tempat itu terasa begitu asing bagiku, namun aku tak mampu bertanya padanya. Jangankan untuk bertanya, menyebut namanya pun aku merasa tak mampu.
Tiba-tiba ia menatap tajam ke bola mataku, lalu ia melingkarkan tangan kirinya ke pinggangku dan tangan kanannya menggenggam erat tangan kiriku. Entah dari mana sumbernya, tiba-tiba terdengar sayup-sayup alunan musik orkestra yang membuat aku semakin larut dalam suasana indah malam itu. Ia mengajakku berdansa, kami melakukan gerakan memutar berulang kali, lama kelamaan aku merasa seperti melayang. Aku merasakan tubuhku begitu ringan tak berbobot, semakin lama aku merasa seperti melayang semakin tinggi, tinggi dan tinggi. Namun, tiba-tiba angin kencang menerpa tubuhku, seluruh lilin disekitarku padam. Mataku tak mampu melihat apa-apa, namun tanganku masih dalam genggamannya.
Lama kelamaan aku merasakan tangannya tak lagi melingkar di pinggangku, dan  genggaman tangannya pun mulai mengendur dan semakin lama aku semakin tidak merasakan kehadirannya. Ia seolah berubah mejadi angin. Aku mulai dilanda ketakutan yang luar biasa, aku menyadari aku berada ditempat yang asing dan mataku tak mampu menangkap cahaya sedikitpun, hanya hitam kelam yang nampak dimana-mana. Aku berusaha untuk mengeluarkan suaraku, “Graha, dimana kamu? Aku takut ada disini sendirian, jangan tinggalkan aku, kumohon.”
Namun aku tidak mendapatkan jawaban. Ketika aku sedang dalam kebingungan dan ketakutan, tiba-tiba mataku disilaukan dengan cahaya terang yang bersinar di langit dan dengan tiba-tiba pula cahaya itu jatuh dan menghantam tubuhku sampai aku merasa terpental jauh dan membentur sesuatu yang keras.
            Aku mengaduh dan membuka mataku. Bersamaan dengan pandanganku yang kembali jelas, aku merasakan nyeri yang lumayan pada punggungku. Aku bangkit dengan cepat, ketika menyadari bahwa aku telah tergeletak dilantai keramik kamarku yang terasa sangat dingin di pagi itu. Berkali-kali aku mengerjapkan mataku untuk meyakinkan diri bahwa aku sudah sadar seratus persen.
            “ Ya Tuhan, ternyata mimpi…..” ucapku seraya mengusap wajahku dan merapihkan rambutku yang berantakan dan sebagian menutupi wajahku. Rasa kecewa dan sesal sempat aku rasakan, karena keindahan malam dalam mimpi itu hanya berlangsung singkat. Namun aku tak dapat berbuat apa-apa. Ternyata adikku Sesyl sudah bangun lebih dulu dan ia membuka pintu kamarku dan melihatku tergeletak di lantai.
“Mbak, ngapain lah sampe tiduran di lantai gitu? Pake ngigau segala lagi? Mimpi buruk ya mbak? Makanya mbak baca do’a dulu sebelum tidur biar mimpi indah.” Cerocos Sesyl, adikku yang usianya hanya terpaut 1 tahun lebih muda dariku. Aku masih berusaha menenangkan diri dan mengumpulkan nyawaku yang rasanya masih terpisah-pisah. Setelah aku merasa lebih tenang, aku membuka mulut dan berkata, “ Kenapa ia tiba-tiba muncul dalam mimpiku?”
“ Siapa mbak?” Tanya adikku. “ Graha.” Jawabku singkat.
“ Oh, cowok masa lalu mbak itu to? Hayo, jangan-jangan mbak kangen lagi sama dia?” Sesyl malah menggodaku, namun aku tetap merasa aneh dan cemas. Sehingga aku tidak meladeni godaanya.
“ Tapi mimpi ini rasanya aneh Syl. Dia mengajakku berdansa sampai kami berdua terbang ke angkasa. Namun, selama itu dia tidak mengucap sepatah katapun. Aku takut, jangan-jangan…..”
“ Halah mbak, cuma bunga tidur aja kok diipikirin. Mendingan sekarang mbak sholat aja biar tenang, udah adzan tuh.” Sahut Sesyl.
            Aku beranjak dari lantai dan bergegas mengambil air wudu, ternyata jam sudah menunjukkan pukul setengah lima pagi. Seusai sholat, hatiku terasa lebih tenang, namun aku tidak memungkiri kalau di otakku masih berkecamuk seribu pertanyaan tentang makna dari mimpi itu. Aku merasa sudah tidak pernah memikirkannya, namun mengapa ia mendadak datang dalam mimpiku dan mengajakku berdansa sampai kami melayang bersama. Air wajahnya terlihat begitu lain, tidak seperti Graha yang aku kenal dulu.
***

Graha datang lagi, ia masih mengenakan pakaian yang sama. Dan untuk kedua kalinya aku dibuatnya terpana lagi dengan pesona yang terpancar darinya. Ia melangkah ringan, kali ini ia benar-benar terlihat tidak menginjak tanah. Ia melayang diudara semakin tinggi, tinggi dan tinggi. Namun, aku tetap dapat melihatnya dengan jelas. Berulang kali tubuhnya menembus awan-awan disekitarnya. Aku sangat terpana antara percaya dan tidak percaya. Namun tubuhku terasa sangat sulit untuk kugerakkan. Tiba-tiba Graha melemparkan senyuman padaku, senyum yang sama dengan senyum yang kulihat saat terakhir kali melihatnya.
Graha menghampiriku sambil mengulurkan tangannya, “ Sambutlah uluran tanganku ini Masa, aku akan mengajakmu berdansa di atas awan-awan itu.” Ajaknya seraya menunju ke awan-awan putih yang terlihat bergelantungan di angkasa. “ Bagaiman mungkin Graha, aku tak memiliki sayap utuk terbang?” jawabku.
“ Lihat aku Masa, apakah aku memiliki sayap? Aku tidak memilikinya, namun aku tetap bisa terbang. Kau hanya perlu menggenggam erat tanganku dan kita akan terbang bersama.”
“ Tidak Graha, aku takut pada ketinggian. Aku takut terjatuh.”
“ Jadi kau tidak mau ikut denganku? Kau tega membiarkanku pergi sendiri tanpa seorangpun yang menemaniku? Aku akan sangat kesepian Masa, tidakkah kau mau menemaniku?” Jawab Graha dengan nada memohon.
Sepertinya pendirianku sudah mulai goyah. Matanya, sorot mata memohon itu membuat ketakutanku sedikit demi sedikit mulai surut, akupun menerima uluran tangannya. Sebuah senyum mengembang dari bibirnya. Saat aku merasakan tubuhku mulai tidak lagi menginjak tanah, tiba-tiba sebuah cahaya yang menyilaukan mata memancar ke arah kami. Aku pun merapatkan kelopak mataku. Ketika aku membuka mata aku tidak lagi melihat Graha, yang kulihat hanyalah plafon berwarna putih. Ternyata aku berada dikamarku. Hah, mimpi lagi!

***

Dua kali berturut-turut Graha hadir dalam mimpiku. Mimpi yang amat aneh.  Aku semakin merasa cemas dengan keadaaan Graha sekarang, apa yang terjadi dengannya? Apakah dia baik-baik saja? Terkadang bayangan-bayangan buruk melintas dalam fikiranku. Membuatku semakin cemas, namun aku tak dapat berbuat apa-apa.
Kulihat kalender  yang tergantung di dinding kamarku. Ternyata hari ini adalah hari Selasa, dua puluh satu Mei 2005. Hari ini adalah hari ulang tahun Graha, ya aku ingat hari ini Graha genap berusia tujuh belas tahun. Kebanyakan orang beranggapan bahwa usia tujuh belas tahun adalah usia yang istimewa. Aku bergegas mengambil ponselku, segera aku mengetik inisial “G” namun aku tidak menemukan nama yang ku cari. Seingatku, aku masih menyimpan nomornya. Beberapa lama aku mengingat-ingat, nomor Graha aku simpan dengan nama apa.
“Nugraha”, ya aku ingat Nugraha adalah nama panjangnya. Segera aku mengetik inisial “N” dan aku menemukan nama itu, ketika aku hendak menekan tombol panggilan pada keypad ponselku. Tiba-tiba kejadian enam bulan yang lalu melintas dalam fikiranku. Mengendurkan niatku untuk menekan tombol itu.
Sebuah kesalahan yang kuperbuat menyisakan penyesalan yang mendalam bagiku. Aku menghianati kesetiaan cintanya, Aku mendua dengan laki-laki lain, aku mementingkan egoku tanpa memikirkan perasaanya. Saat ia mengetahui penghianatanku, ia begitu terpukul. Sebenarnya aku juga merasa menyesal karena setelah ku bandingkan antara keduanya, Graha tetap jauh lebih baik dari Pras, namun apa daya nasi sudah menjadi bubur. Aku juga tetap menjaga gengsiku. Aku tidak mungkin menjilat ludahku sendiri.
Satu minggu setelah aku resmi memutuskan hubungan dengan Graha, ternyata Pras lari ke pelukan wanita lain. Karma melandaku, kini aku menyesal. Sesal yang amat dalam, namun percuma. Aku tak mampu memutar ulang waktu yang telah berlalu. Hari-hari kulalui dengan perasaan hampa. Ditambah lagi dengan kepergian Graha yang tiba-tiba tanpa memberitahuku sebelumnya. Ia pindah sekolah, dengan alasan yang tidak jelas. Rumah orangtuanya memang berjarak sekitar tiga puluh kilometer dari tempat kos lamanya.
Hariku pun terasa semakin sepi, tidak ada lagi seseorang dulu selalu menemaniku duduk di kursi taman sambil memberikan lelucon-lelucon yang membuatku dapat tertawa lepas. Jujur aku sangat kehilangan Graha kala itu, namun aku tak mungkin mengatakan hal itu padanya. Aku harus tetap menjaga gengsiku sampai detik  ini.
Ku urungkan niatku untuk menghubungi Graha. Balum sempat aku meletakkan ponselku, tiba-tiba terdengar nada dering ponselku. Saat aku melihat ke layar ponsel terlihat jelas nomor Graha yang tertera. Ternyata Graha menelponku, aku kaget bukan main. Aku tak menyangka kalau akan secepat ini ia menghubungiku. Padahal lamunan tentang dirinya belum sepenuhnuya buyar dari fikiranku.
Dengan tangan gemetar aku menekan tombol penerima penggilan pada ponselku. Terdengar dari seberang sana suara yang dulu sangat akrab ditelingaku, suara seseorang yang pernah ku sakiti, Graha. “ Hallo, Masa?” suaranya terdengar begitu lembut.
“ Ya, Graha. Apa kabarmu? Graha, mengapa kau pergi begitu saja? Apa kau masih marah padaku? Apa kau sangat membenciku?” aku langsung menghujaninya dengan pertanyaan pertanyaan yang sudah lama ingin kutanyakan padanya.
“ Aku baik Masa, aku hanya tidak ingin mengganggu hubunganmu dengan Pras saja, jadi lebih baik aku pergi. Aku tidak dapat marah padamu Masa, apalagi sampai membencimu. Itu tidak mungkin, kau tahu aku kan?”
Jawabannya membuat debit air di mataku naik, sampai akhirnya air mata itu tumpah. Rasa bersalah dalam diriku semakin besar. Aku malu padanya. Sangat malu.
“ Aku malu padamu Graha, Aku adalah orang yang sangat jahat. Tak seharusnya kau pernah bertemu denganku?”
“ Iya, kau memang jahat. Bahkan sampai detik ini pun kau tidak pernah mengakui kesalahnmu? Tidakkah kau ingin meminta maaf padaku Masa? Sebelum nanti kau menyesal.”
Ucapannya begitu lembut namun menusuk tepat pada hatiku. Benar ucapannya, aku maish terlalu egois sampai aku tidak pernah mengakui kesalahnku, mengakui penyesalanku.
 “ Masa, masihkah kau mendengarku?”
Suara itu membuyarkan lamunanku, akupun menjawab dengan tergagap. “Emmhh ya Graha, aku masih mendengarmu. Graha kalau aku meminta maaf sekarang, masihkah kau mau memaafkanku?”
“ Hahaaa, tentu saja tidak semudah itu.” Tawanya begitu renyah, membuatku ingin melihat wajahnya ketika ia sedang tertawa seperti itu. Begittu lama aku tidak berjumpa dengannya.
“ Hey Masa,kau harus datang ke rumahku. Kau harus meminta maaf langsung dihadapanku, baru aku akan memaafkanmu. Ibuku juga ingin bertemu denganmu. Katanya ibu rindu padamu. Begitupun aku Masa.
Aku tercengang mendengar kata-katanya, ia bilang ia merindukanku. Aku sangat bahagia ternyata ia masih berharap, berarti harapanku tidak bertepuk sebelah tangan.
“ Masa, mangapa kau diam saja? Datanglah kerumahku siang ini juga. Hanya butuh waktu satu jam saja dari rumahmu. Bukan waktu yang terlalu berharga untuk dibuang, kan? Dan apakah kau ingat kalau hari ini usiaku genap tujuh belas tahun. Tidakkah kau ingin menemaniku menghabiskan waktu dihari istimewaku ini?”
Oh, ya ulang tahun Graha. Aku benar-benar mendadak lupa sama sekali.
“ Baiklah Graha aku akan datang.” Jawabku
“ Aku akan menunggumu semampuku, kau harus cepat Masa. Karena aku memiliki firasat yang sedikit aneh.” ucapannya membuatkku sedikit khawatir dan ingin segera menemuinya.
“ Jangan berkata seperti itu, secepatnya aku akan datang. Ya sudah tutuplah teleponmu. Aku harus bersiap-siap.” Tiba-tiba aku teringat kalau aku tidak tahu alamat Graha yang baru. Untung saja Graha belum memutus teleponnya.
“Hey Graha, aku lupa. Aku tidak tahu alamatmu yang baru?”
“ Hahahaaa.. Aku kira kau sudah tahu alamatku. Baiklah aku akan kirimkan alamatku melalui pesan saja, agar kau tidak repot-repot mencatatnya.”
“ Baiklah.” Jawabku cepat.
***

Perajalanan yang cukup menyenangkan, aku menaiki bus kota dan menelusuri sebuah gang menaiki becak. Benar saja, perjalanan yang kutempuh hanya satu jam dari rumahku. Setelah aku menelusuri gang sekitar seratus meter kedalam, aku menemukan alamat yang diberikan Graha padaku, perumahan Mertua Indah bernomor pagar 21. Dengan tembok bercat warna putih, warna favorit Graha.
Namun nafasku seolah berhenti sejenak dan tiba-tiba lututku lemas saat aku melihat gerombolan orang mengenakan pakaian hitam-hitam dan dipagar rumah Graha juga terpasang bendera berwarna kuning yang berkibar pertanda kepiluan sedang terjadi dirumah itu. Perlahan aku mencoba untuk melangkah, walaupun terasa begitu berat. Aku berusaha tegar, aku melangkah menelusuri halaman rumah itu.
Ketika aku sampai dipintu masuk, aku melihat jenazah seseorang terbujur kaku, ditutupi dengan kain batik berwarna cokelat.  Seorang wanita yang menangis disamping jenazah itu mendongakkan wajahnya, ketika melihatku orang itu langsung menghampiri dan memelukku. Wajah yang sangat ku kenal, Tante Farida. Ia adalah ibu Graha.
“ Graha, nak Masa. Graha meninggalkan ibu secepat ini.” Ucapnya terbata-bata ditengah tangisannya yang pecah dalam pelukanku.
Seperti petir yang menggelegar di telingaku, Graha pergi untuk selamanya. Aku berusaha meyakkinkan diriku bahwa tubuh yang membujur kaku itu adalah tubuh Graha. Kekasih yang tersakiti olehku. Perlahan aku membimbing Tante Farida untuk duduk kembali disamping jenazah itu. Dengan tangan gemetar, aku menyingkap kain yang menutupi wajah pemilik tubuh itu. Wajah yang sangat lekat dalam ingatanku. Wajah yang selalu ceria dan penuh kehangatan, Graha. Ya, itu wajah Graha! Benar-benar Graha. Tapi entah mengapa aku tidak dapat menangis, tidak ada setetes air matapun yang mengalir dari pelupuk mataku. “Tante, mengapa Graha bisa begini?” tanyaku lemah.
“ Dia sakit nak Masa, dan mungkin ia sudah tidak mampu menahan rasa sakit itu. Jadi ia memilih untuk menyerah pada rasa sakitnya.” Tangisan tante Farida kembali pecah.
“ Sakit apa Tante? Dan sejak kapan?” tanyaku lagi.
“ Ia difonis gagal ginjal oleh dokter. Ia sakit sejak satu tanun yang lalu. Makanya tante menyuruhnya untuk pindah rumah, agar tante lebih mudah merawatnya.”
Graha yang malang, aku tidak pernah tahu tentang hal itu, mungkin karena aku kurang memperhatikan kesehatannya, maafkan aku Graha. Aku sungguh sangat menyesal. Namun, aku tidak mampu menentang takdir tuhan.
“ Nak Masa, ini ada titipan dari Graha. Dia menitipkan ini pada tante setelah ia selesai meneleponmu tadi pagi.”
Sebuah buku agenda berwarna putih, dengan pita pembatas berwarna hitam. Warna kesukaanku. Aku pun meminta ijin pada Tante Farida untuk kebelakang. Tante Farida malah mengajakku memasukki sebuah kamar. Kamar yang rapi dengan tembok bercat putih bersih, udara segarpun terasa berhembus melalui jendela kamar yang terbuka itu.
“ Ini kamar Graha. Sebelum ia menyerah pada rasa sakitnya.Ia berpesan pada Tante kalau kau datang, kau disuruh membaca buku itu di kamar ini.”
“ Baiklah Tante, terimakasih banyak.”
Tante Farida pun meninggalkanku di kamar itu sendiri. Dengan hati-hati aku membuka buku agenda itu. Dilembar pertama tertulis nama “ZASKIRAMASA”, nama panjangku tertulis dengan huruf kapital di halaman depan buku itu. Lembar demi lembar kubaca dengan seksama tulisan tangan Graha. Air mataku menitik sedikit demi sedikit, semakin kebelakang ku buka halaman buku itu. Air mataku meleleh semakin deras.
Ternyata Graha mencurahkan segala perasaanya di dalam buku itu, ia mencatat semua memori indah yang pernah kami lalui bersama. Setiap hari ia mencatat kejadian-kejadian apa saja yang dilaluinya bersamaku. Sampai dihalaman-halaman belakang ia juga mencurahkan perasaannya tentang rasa sakit akibat penyakit yang menyiksa raganya, dan rasa sakit akibat penghianatanku yang menyiksa jiwannya. Rasa bersalah itu langsung menghakimiku. Sesal yang tiada guna lah yang datang.

Di lembar terakhir ada curahan hati yang ia tuliskan sebelum ia pergi,

Selasa, 21 Mei 2005

Aku mendengar suaranya, aku berbicara dengannya. Aku tertawa karenanya. Ooohhh…. Tuhan aku sangat bahagia. Terima kasih Kau masih mengijinkanku untuk mendengar suaranya walau hanya melalui ponsel. Ia mengucapkan Selamat Ulang Tahun padaku. Dan ia pun berjanji padaku, kalau ia bersedia datang untuk menemuiku disini. Ia akan datang satu jam lagi. Aku ingin sekali memeluknya,,, Ya Tuhan, semoga kau masih mengizinkanku untuk dapat memeluknya dan mencurahkan perasaan rinduku yang telah kutahan selama ini. Aku mohon Tuhan kalau Kau masih mengizinkanku untuk bertemu dengannya berikan aku umur satu hari lagi, agar aku dapat menghabiskan detik-detik terakhirku dengannya. Namun, jika kau tidak mengizinkan, biarkan ia bertemu dengan ragaku yang dingin…
“ZASKIRAMASA” nama yang akan selalu ada dalam hatiku, meski ragaku sudah mati namun rasa cintaku padamu takakan pernah mati, walau ragaku terkubur dalam tanah namun cintaku tetap menggantung tinggi di atas awan.”

Dan di halaman yang paling akhir ada sebuah pesan untukku. Ditulis dengan tinta berwarna hitam dan tulisannya terlihat sangat rapi.


Untuk Masa,

“Masa, kalau kau mengucapkan kata maafmu didepan buku ini dan kau merasakan hembusan angin lembut menerpa wajahmu, itu berarti aku mengentuh wajahmu dan aku telah memaafkanmu. Namun jika kau tidak merasakan hembusan angin itu, berarti malaikat sudah membawaku pergi dan aku akan menunggu maafmu di pintu surga nanti.”


Air mataku mengalir semakin deras sekali, aku merasa sudah kehabisan tenaga. Lidahku terasa kelu,namun aku tetap berusaha mngucapkan kata itu, samapi akhirnya,
 “ Maafkan aku Graha.” Kata itu keluar dari mulutku dengan ketulusan dan penyesalan yang mendalam.
Seketika aku merasakan hembusan angin lembut menerpa wajahku. Graha telah memaafkanku, seperti janji yang ia tuliskan dalam lembar terakhir itu.
Tiba-tiba aku merasakan seperti terlempar ke sebuah sudut yang gelap. Teramat gelap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar